18 Nov
Widi Prayitno, Penggerak “Kopi Ledug” di Lereng Gunung Welirang

Kopi Ledug tak hanya menggerakkan perekonomian warga di Desa Ledug, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Kopi Ledug juga merekatkan hubungan antar-anggota keluarga petani kopi di kawasan lereng Gunung Welirang itu.

Sekitar tahun 2009, Widi Prayitno prihatin akan rendahnya harga kopi yang dibeli oleh tengkulak dari petani kopi di desanya. Widi Prayitno adalah petani kopi dari Desa Ledug, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Harga ditentukan oleh tengkulak. Petani kopi tak berdaya.

Widi tak berdiam diri. Pada tahun itu, ia mulai mempelajari dari hulu ke hilir pertanian kopi dan pemasarannya. Membesarkan usaha kopi dan mensejahterakan petaninya, menjadi keinginan Widi, yang juga Ketua Kelompok Tani Mitra Karya Tani (MKT).

Kini, Kelompok Tani MKT telah mandiri, hingga mengemas dan memasarkan sendiri produknya yang diberi label “Kopi Ledug”. Merek ini mengambil nama desa yang menjadi lahan tumbuhnya kopi di lereng Gunung Welirang itu.

Kopi Ledug tak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi sudah merambah sejumlah negara di Asia, seperti Korea, Jepang, dan Taiwan. Kisah sukses Widi dan para petani kopi di Desa Ledug tak terlepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk Sampoerna Entrepreneurhip Training Center (SETC) atau Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna. Dari SETC, Widi mendapatkan peluang untuk belajar banyak soal peningkatan kapasitas produksi, kualitas kopi, pengemasan, hingga pemasaran produk.

Ini kisahnya.

Perjalanan panjang

Widi mulai mewujudkan mimpinya dengan mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pertanian mengenai pengendalian hama terpadu agar produk kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik.

Ia juga tak melewatkan kesempatan untuk memperdalam pengetahuan mengenal berbagai varietas kopi. Pada suatu waktu, ia bertemu seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan belajar banyak mengenai kopi luwak.

“Saya tanya banyak, apa sih bedanya kopi biasa dengan kopi luwak? Kenapa kopi luwak bisa mahal, dan sebagainya. Akhirnya saya dikasih tahu banyak, termasuk mempersiapkan mesin yang bagus supaya kopi saat digiling tidak bau logam dari mesin,” kisah Widi, saat dijumpai beberapa waktu lalu di sela SETC Expo, di Denpasar, Bali.

Saat itu, seorang pengusaha memberikannya modal sebuah mesin penggilingan kopi yang cukup baik. Kemudian, ia mencoba mengajak para petani kopi untuk budi daya kopi luwak. Awalnya, karena belum mengetahui, ia mengandangkan luwak-luwak yang akan memakan biji kopi. Ternyata, pengandangan ini tak sesuai aturan.

“Saya belajar lagi dari situ. Oh, enggak boleh dikandangin, harus dilepasliarkan. Ya, ini proses belajar saya. Ternyata, setelah saya pelajari lagi, kalau dilepas liar malah biayanya lebih rendah,” kata Widi.

Para petani kopi kemudian menanam pohon pepaya di tengah kebun kopi. Pepaya ini menjadi makanan luwak. Hasil panen di luar dugaan, bisa hingga 1 kuintal dalam sekali panen.

“Tetapi, masalah lagi. Per kilo kopi luwak harganya Rp 150 ribu. Enggak ada yang bisa jual. Ada panen 1 kuintal, enggak bisa jual,” kata Widi.

Padahal, lanjut dia, kualitas kopi yang dihasilkan para petani Desa Ledug berkualitas baik. Menurut Widi, Kopi Ledug istimewa karena paparan uap belerang dari Gunung Welirang.

“Menurut LIPI, kopi saya itu terdampak uap belerang. Gunung Welirang itu penghasil uap belerang tebesar. Kebun kena dampak uap belerang kalau malam, semua tanaman. Uap belerang ini akan memengaruhi rasa dan mengubah cita rasa kopi yang biasa jadi luar biasa,” ujar dia.

Namun, persoalan pemasaran menjadi kendala tersendiri bagi petani kopi.

Ikut festival kopi dan bergabung PPK Sampoerna

Widi tak patah semangat, Ia terus mencari tahu bagaimana agar Kopi Ledug yang istimewa bisa lebih baik pemasarannya. Setelah memenangkan berbagai festival kopi yang diikutinya, Widi direkomendasikan untuk bergabung dengan PPK Sampoerna pada 2012 dan bertahan hingga saat ini. Bahkan, Widi telah menjadi trainer bidang wirausaha kopi di PPK sampoerna

Dari sini, ia mendapatkan pelatihan dari para pelaku UKM yang sudah lebih dulu bergabung. Salah satu yang dipelajari adalah terkait pemasaran. Jaringan dan kesempatan untuk mengembangkan diri juga semakin terbuka

“Setelah bergabung dengan PPK Sampoerna itu, saya mulai belajar banyak. Sebelum ikut PPK, roasting aja enggak bisa, apalagi marketing. Sama sekali saya enggak bisa. Setelah ikut PPK, diajarin disiplin. Kalau kamu pemasaran seharusnya seperti ini, kemudian saya terapkan,” kata Widi.

Dari pelatihan yang diadakan PPK, ia juga belajar soal pentingnya foto yang apik untuk memasarkan produk Kopi Ledug.

“Dulu, saya foto pakai Hp, saya posting. Ternyata orang enggak minat karena foto enggak menarik. Ternyata ada caranya. Saya ikut kelasnya di PPK Sampoerna. Kemudian, barang saya sempat masuk di galeri SETC, saya sempat jadi best seller di situ,” kisah dia.

Semua pengetahuan ini ia terapkan dan dibagikan kepada para petani di 5 desa yang ada di sekitar Desa Ledug. Kopi Ledug Gunung Welirang yang dipasarkan juga semakin bervariasi. Ada pilihan Luwak Arabica, Luwak Robusta, Organic Arabica, dan Organic Robusta, dengan kemasan yang lebih menarik. Jika sebelumnya hanya dibungkus plastik, kini ada yang dikemas dalam toples, maupun kemasan kantong yang lebih eksklusif. Pengemasan yang baik ini turut meningkatkan harga jual dan menarik minat pembeli.

Kopi Ledug kini sudah memasok kebutuhan kopi beberapa kafe di Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Bahkan, Kopi Luwak Ledug sudah mendapatkan pelanggan tetap di Korea, Jepang, dan Taiwan.

“Saya memakai jaringan teman TKI. Bos teman saya itu punya kafe. Pas dicoba ternyata rasanya cocok, dan harga dari saya jauh lebih murah,” kata Widi.

Ia menceritakan, satu kilogram Kopi Luwak Arabica dijualnya Rp 1.600.000 per kilogram, sedangkan Kopi Luwak Robusta Rp 1.300.000 per kilogram. Harga ini sudah termasuk ongkos kirim ke negara-negara tersebut.

“Sebelumnya, kafe di Korea itu beli dari Indonesia juga, harganya Rp 2.700.000 per kilogram. Dengan harga yang bagus dari saya, dia kemudian buka kafe lagi di Jepang dan Taiwan. Kopi semua dari saya,” ujar Widi.

Hingga kini, pengiriman masih rutin dilakukan. Ke Jepang, rata-rata 10 kilogram per bulan (untuk jenis Luwak Arabica), Korea sebanyak 4 kilogram per bulan (Luwak Arabica dan Robusta), dan Taiwan biasanya 5 kilogram per bulan (Luwak Arabica dan Robusta).

Gerakkan perekonomian dan eratkan keluarga petani kopi

Kapasitas produksi kopi yang dihasilkan para petani kopi di Desa Ledug mencapai 200 kilogram, sementara untuk kopi luwak sekitar 30 kilogram per bulan.

“Memang tidak banyak, tapi kontinyu produksi dan dipasarkan,” ujar Widi.

Ia menyebutkan, seluruh proses dari mulai penanaman, panen, pengemasan hingga pemasaran melibatkan anggota keluarga petani kopi. Oleh karena itu, menurut Widi, pertanian kopi di desanya tak hanya memberikan dampak bagi perekonomian, tetapi juga mempererat hubungan keluarga para petani.

“Pekerja dari kelompok tani kami sendiri. Bapaknya tani kopi, kemudian hasilnya disetorkan ke kelompok. Ibunya yang nyortir (kopi) dan packing, anaknya yang ikut kelompok tani memasarkan pakai Facebook. Jadi bapak supply kopi, ibu yang mengemas, anak pemasaran. Jadi bapak, ibu, anak, dapat gaji dari sini. Perekonomian hidup” kata Widi.

Hal ini memberikan kebahagiaan tersendiri baginya, dan membuat Widi tak ingin menggantikan proses ini beralih ke mesin. Ia pernah menolak tawaran bantuan mesin pengemasan dari pemerintah daerah. Alasannya, tak ingin menghilangkan penghasilan para ibu yang selama ini terlibat dalam proses pengemasan.

Para ibu, yang merupakan istri dari para petani kopi, terlibat dalam proses penyortiran, pengemasan, penjemuran dan pemanenan kopi. Penghasilannya sekitar Rp 60.000 per hari, dengan rata-rata penghasilan per bulan Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000.

“Sambil nonton sinetron, sambil momong anak, sambil berbincang mereka ngemas kopi. Ini kan tak boleh tergantikan. Kadang bapaknya, anaknya juga ikut. Di situlah saya dapat kenikmatan. Ternyata keluarga yang biasa tidak komunikasi, jadi komunikasi gara-gara melakukan ini. Di situ saya tersentuh dan berharap usaha ini semakin besar,” papar Widi.

Anak-anak para petani ada yang aktif dalam membantu penjualan kopi secara online. Dari sini, mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 1.000.000 per bulan.

Sementara, para petani bisa mendapatkan Rp 1.500.000 per bulan dari hasil panen kopi, ditambah dengan hasil panen buah-buahan lainnya seperti alpukat, pisang, pete besar, cengkih yang bisa mencapai Rp 2.000.000 per bulan.

Tak kurang dari 22 Kepala Keluarga (KK) mendapatkan penghidupan dari tumbuh suburnya produksi kopi Ledug.

Kembangkan wisata edukasi kopi

Harapan Widi untuk membesarkan usaha kopi yang dikerjakan para petani kopi Desa Ledug mulai terwujud. Salah satu yang dikembangkan saat ini adalah wisata edukasi kopi. Kelompok-kelompok tani dari berbagai daerah kerap berkunjung untuk belajar. Usaha wisata edukasi kopi ini juga dikelola MKT.

Para petani diberikan kepercayaan untuk menjadi pengajar mengenai budidaya, pemupukan, okulasi, dan lain-lain. Dengan cara ini, para petani juga akan mendapatkan tambahan penghasilan.

Selain itu, disediakan pula dua pondok bagi mereka yang ingin bermalam. Satu pondok bisa diisi hingga 6 6 orang dengan biaya Rp 100 ribu per orang, termasuk makan pagi, siang, dan malam.

“Untuk paketan, pengen belajar lagi, yang non anggota kelompok tani Rp 50.000 per kepala. Nah petani yang jadi pengajar dapat tambahan penghasilan lagi, dan saat ini berkembang terus,” kata Widi.

“Sampoerna kalau ada tamu-tamu dari luar juga sering diajak. Senang mereka, malam-malam bangun lihat aktivitas luwak, dan sebagainya,” lanjut dia.

Usaha kopi MKT yang semakin berkembang, membuat para petani semakin bersemangat. Ia berharap, ke depannya semakin besar dan bisa menghadirkan inovasi lainnya.

“Kopi ini binaan Sampoerna, saya juga mau inovasi terus seperti Sampoerna yang selalu inovasi. Jadi kalau misal ada masukan, terobosan, kami akan belajar terus. Saya tidak mau lepas dari SETC karena ingin terus berinovasi,” kata Widi.