18 Nov
Ferry Sukses Dengan Filosofi Alam Batik

Melalui pembinaan Sampoerna, karya batiknya dijual hingga Rp 250 juta. Mampu menembus pasar Korea, Australia, dan sejumlah negara di Eropa.

Sejak kecil, pria asal Pasuruan ini sebenarnya sudah sangat dekat dengan dunia batik. Ayah dan ibunya adalah pengusaha batik. Namun, hingga dewasa, Ferry Sugeng Santoso sama sekali tidak tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan batik, apalagi memproduksi dan berbisnis batik.

Semua itu berubah ketika pada 2006, ia terpaksa harus mewakili kedua orang tuanya memenuhi undangan pelatihan pewarnaan batik alam yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian di Yogyakarta.

Dari sanalah, ia mulai mengenal keindahan dan kekuatan batik serta mulai jatuh cinta pada budaya asli Indonesia ini. “Saya disuruh berangkat. Mungkin ya sudah jalannya. Awalnya, saya tidak mau sama sekali. Oleh panitia, semua harus membatik, akhirnya mau tidak mau. Padahal, saya belum pernah sama sekali membatik,” kata Ferry.

Meski terpaksa, pria kelahiran 13 April 1980 ini menjalani pelatihan itu dengan baik. Semua hal tentang batik dan pewarnaan alam dipelajarinya. Tanpa ia sadari batik mengajarkan banyak hal lain pada dirinya.

“Bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, harmoni dengan lingkungan, menjalin kemesraan dengan Tuhan. Filosofinya saya dapat di situ. Kita bisa belajar sinergi dengan masyarakat serta alam. Ternyata batik mengajarkan saya sampai sejauh itu,” ucapnya.

Pada 2009, Ferry menerima pendampingan usaha dari PPK Sampoerna yang merupakan salah satu program Sampoerna Untuk Indonesia. Di sini, ia memadukan keindahan batik khas berciri pewarna alami dengan motif batik yang memiliki kekuatan makna dan mengandung filosofi.

“Filosofi yang bisa mengubah orang yang mengenakannya. Contohnya, motif kawung. Motif kawung diciptakan untuk raja agar dia menjadi seorang pemimpin yang benar, bukan bijak. Bijak belum tentu benar. Kalau benar, pasti bijak. Akhirnya, saya buat motif demikian,” ujarnya.

Bahkan Ferry melayani pembuatan batik pesanan khusus yang dibuat dalam waktu cukup lama. Tujuannya, menyelami karakter pemesan agar batik yang dihasilkan membawa energi positif bagi pemiliknya.

Dengan resep batik idealis penuh filosofi dan pembinaan Sampoerna, Ferry sukses menembus pasar dunia, seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.

Harga jualnya pun fantastis. “Harga batik saya mulai harga Rp 450ribu, ada yang sampai Rp 75juta, bahkan Rp 250 juta,” tuturnya.

Selain sukses berbisnis, Ferry punya jiwa sosial tinggi. Untuk mendukung bisnisnya, ia membina 15 orang pembatik warga Desa Gunting, Pasuruan yang sebagian besar tidak lulus sekolah. Selain itu, Ferry aktif sebagai mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna atau Sampoerna Entrepreneurship Training Centre (SETC).

PPK Sampoerna, menurut dia, sangat mendukung para pelaku UKM, termasuk dirinya. Di bawah pemberdayaan PPK Sampoerna, bisnisnya berkembang pesat. Kesempatan mengikuti pameran yang diselenggarakan PPK Sampoerna menjadi kesempatan besar bagi Ferry untuk memperkenalkan produknya.

Selain mengikuti pameran, ucap Ferry, UKM binaan PPK Sampoerna juga mendapat kesempatan mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan kualitas produk dan packaging. Ujungnya, mereka bisa membuahkan produk UKM berkualitas serta menembus pasar dunia seperti kesuksesan bisnis yang sudah diraih Ferry.

Karya Ferry juga mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata berupa Penghargaan Nayaka Pariwisata