Peserta Pelatihan & Pengunjung SETC
Datang dari Seluruh Wilayah di Indonesia
Datang dari Seluruh Wilayah di Indonesia
0 Orang telah mengunjungi SETC
0 Orang telah mengikuti pelatihan SETC
Ferry Sukses Dengan Filosofi Alam Batik
Melalui pembinaan Sampoerna, karya batiknya dijual hingga Rp 250 juta. Mampu menembus pasar Korea, Australia, dan sejumlah negara di Eropa. Sejak kecil, pria asal Pasuruan ini sebenarnya sudah sangat dekat dengan dunia batik. Ayah dan ibunya adalah pengusaha batik. Namun, hingga dewasa, Ferry Sugeng Santoso sama sekali tidak tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan batik, apalagi memproduksi dan berbisnis batik. Semua itu berubah ketika pada 2006, ia terpaksa harus mewakili kedua orang tuanya memenuhi undangan pelatihan pewarnaan batik alam yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian di Yogyakarta. Dari sanalah, ia mulai mengenal keindahan dan kekuatan batik serta mulai jatuh cinta pada budaya asli Indonesia ini. “Saya disuruh berangkat. Mungkin ya sudah jalannya. Awalnya, saya tidak mau sama sekali. Oleh panitia, semua harus membatik, akhirnya mau tidak mau. Padahal, saya belum pernah sama sekali membatik,” kata Ferry. Meski terpaksa, pria kelahiran 13 April 1980 ini menjalani pelatihan itu dengan baik. Semua hal tentang batik dan pewarnaan alam dipelajarinya. Tanpa ia sadari batik mengajarkan banyak hal lain pada dirinya. “Bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, harmoni dengan lingkungan, menjalin kemesraan dengan Tuhan. Filosofinya saya dapat di situ. Kita bisa belajar sinergi dengan masyarakat serta alam. Ternyata batik mengajarkan saya sampai sejauh itu,” ucapnya. Pada 2009, Ferry menerima pendampingan usaha dari PPK Sampoerna yang merupakan salah satu program Sampoerna Untuk Indonesia. Di sini, ia memadukan keindahan batik khas berciri pewarna alami dengan motif batik yang memiliki kekuatan makna dan mengandung filosofi. “Filosofi yang bisa mengubah orang yang mengenakannya. Contohnya, motif kawung. Motif kawung diciptakan untuk raja agar dia menjadi seorang pemimpin yang benar, bukan bijak. Bijak belum tentu benar. Kalau benar, pasti bijak. Akhirnya, saya buat motif demikian,” ujarnya. Bahkan Ferry melayani pembuatan batik pesanan khusus yang dibuat dalam waktu cukup lama. Tujuannya, menyelami karakter pemesan agar batik yang dihasilkan membawa energi positif bagi pemiliknya. Dengan resep batik idealis penuh filosofi dan pembinaan Sampoerna, Ferry sukses menembus pasar dunia, seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa. Harga jualnya pun fantastis. “Harga batik saya mulai harga Rp 450ribu, ada yang sampai Rp 75juta, bahkan Rp 250 juta,” tuturnya. Selain sukses berbisnis, Ferry punya jiwa sosial tinggi. Untuk mendukung bisnisnya, ia membina 15 orang pembatik warga Desa Gunting, Pasuruan yang sebagian besar tidak lulus sekolah. Selain itu, Ferry aktif sebagai mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna atau Sampoerna Entrepreneurship Training Centre (SETC). PPK Sampoerna, menurut dia, sangat mendukung para pelaku UKM, termasuk dirinya. Di bawah pemberdayaan PPK Sampoerna, bisnisnya berkembang pesat. Kesempatan mengikuti pameran yang diselenggarakan PPK Sampoerna menjadi kesempatan besar bagi Ferry untuk memperkenalkan produknya. Selain mengikuti pameran, ucap Ferry, UKM binaan PPK Sampoerna juga mendapat kesempatan mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan kualitas produk dan packaging. Ujungnya, mereka bisa membuahkan produk UKM berkualitas serta menembus pasar dunia seperti kesuksesan bisnis yang sudah diraih Ferry. Karya Ferry juga mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata berupa Penghargaan Nayaka Pariwisata
Di Tangan Vania Santoso, Karung Semen “Disulap” Jadi Tas Cantik
Di usia 12 tahun, Vania Santoso kecil menyimpan keresahan tentang persoalan lingkungan setelah rumah tempatnya bernaung di Surabaya, Jawa Timur, terendam banjir. Bersama kakaknya, Agnes Santoso, Vania membentuk komunitas yang peduli pada isu-isu dan permasalahan lingkungan pada 2005. Ia menyebutnya sebuah proyek sosial yang fokus mengedukasi masyarakat dan siswa tentang berbagai isu lingkungan. Konsistensi Vania membangun kepedulian lingkungan membuahkan berbagai penghargaan. Kini, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu, fokus menjalankan usaha socio-preneur dengan memproduksi berbagai produk fesyen dengan mengusung brand “heySTARTIC”. Produk andalannya adalah tas berbahan bekas karung semen. Di tangan Vania, bekas karung semen itu “disulap” menjadi aneka produk bernilai jual tinggi. Usaha ini dijalankan Vania dengan melibatkan masyarakat sekitar dan beberapa wilayah di Jawa Timur. Ditemui saat Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) Expo, di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu, Vania berbagi ceritanya. Penghargaan internasional pertama Dua tahun membangun komunitas peduli lingkungan, pada 2007, proyek sosial Vania dan Agnes, memenangkan kompetisi Lingkungan Internasional “Volvo Adventure” di Swedia yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Proyek itu bernama “Useful Water for A Better Future”. Dari ajang ini, ia meraih pendanaan internasional untuk pengembangan proyek lingkungan senilai 10.000 dollar AS. Uang pendanaan itu digunakan untuk berbagai proyek yang menunjang keberlangsungan komunitas. “Di sisi lain mikir, untung menang, kalau enggak ada sponsor gimana? Harus dipikirkan keberlanjutan finansial gimana,” kata Vania. Kemenangan itu tak membuat Vania larut. Ia terus berinovasi untuk menghasilkan produk yang layak jual. Berbekal hobi hand crafting, Vania merintis usaha produk daur ulang. Brand heySTARTIC dipilih sebagai akronim dari Start Being Exotic and Ethical. Produk daur ulang itu kerap dibawanya saat ada kesempatan ke luar negeri. Di luar dugaan, penjualan dan apresiasinya selalu tinggi. Inovasi tas berbahan karung semen Produk yang kini terus dikembangkan dan menjadi andalan heySTARTIC adalah produk fesyen dengan bahan baku bekas karung semen. Produk-produk itu di antaranya, tas tangan, laptop case, dompet, dan lain-lain. Sekilas, orang akan mengira bahwa produk itu merupakan produk kulit, bukan daur ulang karung semen. Harga produknya bervariasi, mulai Rp 50 ribu hingga Rp 800 ribu. Vania mengisahkan, inovasi ini awalnya muncul dari warga yang dibina oleh komunitasnya. Para warga ini dibina mengelola bank sampah di tiga wilayah, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. “Sampah apa pun yang masuk, dipikirin dikelola jadi apa. Bungkus kemasan kopi, koran, dan akhirnya jatuh di kertas semen. Ternyata, punya nilai jual juga di Indonesia,” kata Vania. Berbagai eksperimen dilalui untuk mendapatkan model dan kualitas seperti yang dipasarkan saat ini. Terutama, untuk mendapatkan pelapis yang tahan lama dan menghasilkan produk dengan kualitas baik. Menurut Vania, pelapis yang digunakan benar-benar ramah lingkungan dan tahan air. Dalam menjalankan heySTARTIC, Vania dibantu 11 orang warga yang dibinanya. “Kalau ada project besar, mereka bisa jadi supervisor di daerah mereka. Plus, kalau ada workshop mereka juga bisa jadi pelatihnya,” ujar Vania. Selain itu, dalam tim manajemen heySTARTIC, Vania melibatkan anak-anak muda, mulai dari siswa SMA hingga mahasiswa. Demikian pula para relawan yang terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. “Jadi yang support untuk workshop sebagai co-facilitator misalnya, dari anak SMA sampai kuliahan paling banyak,” kata dia. Belajar dari para entrepreneur mapan Proses yang dilalui Vania tak instan. Ia sempat jatuh-bangun, berpikir bagaimana produk-produk daur ulang bisa diapresiasi oleh konsumen Tanah Air. Dari pengalamannya, menjual produk di luar negeri lebih mudah jika dibandingkan dengan di Indonesia. Namun, Vania tak patah semangat. Ia terus berusaha menajamkan insting bisnisnya dengan mengikuti berbagai kesempatan yang bisa membuatnya menjadi lebih matang. Pada 2016, Vania mengikuti Wirausaha Inovatif Berbasis Sosial Lingkungan (WIBSL) yang diadakan Innotech dan Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) atau Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna. Ia terpilih sebagai juara dalam kompetisi ini. Dari sini pula Vania belajar banyak hal, terutama dari para pengusaha yang telah mapan. “Di PPK berproses beberapa bulan, dari online, karantina, pameran, presentasi. Saat itu menang dan dapat bantuan Rp 50 juta. Banyak dapat support, pengayaan karena dipertemukan dengan para entrepernuer yang sudah establish, ikut pameran-pameran, termasuk di Galeri House of Sampoerna,” ujar peraih Young Eco Hero dari Action for Nature (2008) di Amerika Serikat ini. Ia juga mengaku mendapatkan kesempatan untuk mendalami mengenai bisnis sosial di PPK Sampoerna. “Jadi waktu ikut WIBSL Sampoerna dan Innotech itu, kami dipertemukan langsung dengan para praktisi bisnis sosial yang udah mapan di bidangnya, misalnya Javara. Jadi bisa belajar langsung dari yang sudah ngejalanin. Oh, bisnis sosial itu seperti ini, bisa menggali story-nya,” kata Vania. Ke depannya, Vania berharap agar produk daur ulang dan ramah lingkungan semakin diminati di Indonesia. Oleh karena itu, untuk saat ini, ia fokus mengembangkan pasar dalam negeri. Alasannya, tujuan dari bisnis sosial yang dijalaninya adalah mengedukasi masyarakat Indonesia soal lingkungan. Kepada para generasi muda yang ingin berwirausaha, ia berpesan, agar mewujudkan mimpi. Tak hanya bermimpi, tetapi juga melakukan aksi. Apalagi, jika bisa bermanfaat bagi masyarakat. “Business plan terbaik adalah business plan yang dilakukan. Selain direncanakan, juga harus aksi. Percayalah, ketika kita sudah melakukan aksi, banyak hal yang di luar perkiraan kita,” ujar Climate Champion British Council East Asia Region 2010 ini.
Kisah Karyani, “Go Internasional” Berbekal Produk Minuman Herbal
Karyani (52) mungkin tidak menyangka usaha kecil yang dimulainya dengan modal sebesar Rp 50.000 bisa membawa dampak besar pada hidupnya. Wanita asal Desa Kesiman, Pasuruan, Jawa Timur (Jatim) ini berhasil merambah pasar internasional berbekal produk minuman herbal instan produksinya. Sejak 2017, Karyani telah melakukan penjualan herbal instan tanpa gula ke Korea Selatan sebanyak 200-300 botol per bulan. Saat ini, jumlahnya naik menjadi 400 botol per bulan. Selain pasar internasional, produk milik Karyani juga sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, Palembang, Yogyakarta, dan Samarinda. Padahal, dulu minuman herbal instan itu hanya dipasarkan di Pasuruan dan sekitarnya. Jeli melihat peluang Perjalanan bisnis Karyani dimulai sekitar tahun 2000. Dahulu, dia merupakan petani biasa yang tergabung dalam kelompok wanita tani Kesiman Jaya. Melihat hasil bumi, seperti temulawak, kunyit, dan jahe, yang tumbuh melimpah di daerahnya membuat dia tergerak untuk memanfaatkan. Apa yang dilakukan Karyani bukan tanpa alasan. Data Riset Tumbuhan dan Jamu pada 2012-2017 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, dari 30.000 - 40.000 jenis tumbuhan di Indonesia, sebanyak 6.000 - 7.500 di antaranya merupakan tanaman obat. Namun, mengutip dari Kompas.com, Sabtu (06/05/2018), baru sekitar 200 spesies yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Tak hanya sebagai obat, tanaman-tanaman herbal itu dapat bernilai ekonomi ketika diolah dengan tepat. Bahkan bisa menjadi bisnis yang menjanjikan. Menyadari hal itu, Karyani kemudian membulatkan tekad untuk mulai mengolah temulawak menjadi minuman herbal instan. "Saya mulai usaha sekitar 18 tahun lalu dengan modal hanya Rp 50.000 ditambah dengan keinginan kuat untuk mengolah berbagai hasil bumi yang bermanfaat," kata Karyani, seperti di kutip dari Kompas.com, Kamis (18/10/2018). Usaha tersebut dia beri nama Kesiman Jaya, yang terinspirasi dari nama desa tempat tinggalnya. Melalui nama itu, Karyani berharap dapat membuat desanya menjadi lebih sejahtera.
Ikuti Kegiatan Kami Sebagai
Peserta
Pendaftaran dibuka bagi lembaga atau pribadi yang ingin mengikuti pelatihan di SETC, bervariasi dari pelatihan soft skill, pertanian terpadu, pengolahan pangan, peternakan dan perikanan, dan lain-lain.
Pengajar
SETC membuka kesempatan bagi relawan yang ingin memberikan pelatihan. Terdapat beberapa jenis pelatihan yang dapat diberikan: kewirausahaan, pertanian terpadu, vokasional, atau pelatihan lainnya.
Pengunjung
SETC membuka pintu lebar bagi masyarakat, lembaga atau pribadi yang tertarik melakukan kunjungan dan mengeksplor kegiatan di SETC.
Mengenal Sertifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
Rabu, 25 September 2024
09:00 - 11:00 WIB
Dengan bimbingan SETC, kami telah melakukan penjualan herbal instan tanpa gula ke Korea Selatan sebanyak 4000 botol per bulan.
Karyani – Kesiman Jaya
Kami sangat berterima kasih kepada SETC yang telah mendukung usaha saya serta memberi pelatihan mengenai pemasaran yang baik.
Lastri – Riski Barokah
SETC membina kami dari tahun 2004, dan membantu kami mengembangkan usaha dari kripik hingga katering.
Lianah – UD Mawar
Dengan bergabung di SETC, kami diberikan pembekalan pemasaran online, ekspor produk, menemukan pembeli yang tepat sasaran.
Sri Rahayu – Gendhis Collection
Berkat SETC, saya termotivasi untuk terus belajar. SETC terus memberi bimbingan sehingga usaha saya bisa dikenal banyak orang.
Susi Krisna – Kopi Nawa 9
Sudah di level manakah
usaha Anda?
usaha Anda?
Cari tahu disini